Picture
قال الشافعي: أَنْفَقْتُ عَلَى كُتُبِ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ سِتِّينَ دِينَاراً ثُمَّ تَدَبَّرْتُهَا فَوَضَعْتُ إِلَى جَنْبِ كُلِّ مَسْأَلَةٍ حَدِيثًا، يَعْنِي رَدًّا عَلَيْهِ

Asy-Syafii berkata: “Aku menggunakan uang sejumlah 60 dinar untuk membeli buku-buku Muhammad bin al-Hasan. Kemudian aku mempelajarinya dan aku letakkan sebuah hadits pada tiap-tiap masalah (pembahasan). Yaitu sebagai bantahan atasnya.” (Adabusy Syafii)

Muhammad bin al-Hasan adalah murid senior Abu Hanifah. Al-Imam asy-Syafii sempat belajar kepada Muhammad bin al-Hasan dan sangat hormat segan kepadanya. Sehingga beliau tidaklah mengkritik Muhammad bin al-Hasan ketika masih dalam majelis. Akan tetapi asy-Syafii akan mengadakan munaqasyah dan dengan murid-murid Muhammad bin al-Hasan setelah meninggalkan majelis. Al-Imam asy-Syafii mengisahkan:

“Muhammad bin al-Hasan adalah seorang yang memiliki kedudukan yang bagus. Sehingga aku mondar-mandir untuk mendatanginya. Aku katakan: Orang ini lebih dekat bagiku untuk menempuh jalan ilmu. Akupun melaziminya, dan aku tulis buku-bukunya. Aku juga mengenali pendapat-pendapat mereka. Dan apabila ia telah berdiri (meninggalkan majelis), aku mendebat para muridnya.” (Adabusy Syafii)

Sosok Muhammad bin al-Hasan adalah sosok yang dihormati dan disegani oleh asy-Syafii. Namun penghormatan ini tidaklah mencegahnya untuk mengkritik pendapat-pendapat Muhammad bin al-Hasan yang salah.

            Demikian teladan yang dipraktikan oleh al-Imam asy-Syafii. Dan beliau sendiri tidak segan untuk menerima kritikan ketika salah. Oleh karena itu beliau mengatakan:

“Semua yang pernah aku katakan, sedangkan (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits itu lebih pantas (untuk dipegangi), dan jangan kalian taklid kepadaku.”

“Apabila kalian mendapati dalam kitabku suatu pendapat/perkataan yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hendaklah kalian berpendapat dengan sunnah itu, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.”

Asy-Syafii juga berkata kepada al-Imam Ahmad:

“Wahai Abu Abdillah, apabila ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menurutmu shahih, maka sampaikanlah kepadaku agar aku bisa bermadzhab dengannya.” (Hilyatul Auliya’)

“Wahai Abu Abdullah, Anda lebih mengetahui tentang riwayat-riwayat hadits yang shahih daripada kami. Apabila ada hadits yang shahih maka beritahukanlah kepadaku agar aku  bisa berpendapat dengannya. Baik riwayat hadits itu berasal dari  orang Kufah, Bashrah, atau Syam.” (Hilyatul Auliya’)

             Demikian sebagian adab yang dipraktikan dan diwasiatkan oleh al-Imam asy-Syafii. Yaitu siap untuk dikritik dan mengkritik. Namun kritik mengkritik ini tidak asal mengkritik. Sebagaimana kita saksikan dari pernyataan dan praktik al-Imam asy-Syafii di atas, yang dijadikan landasan untuk mengkritik adalah hadits yang shahih, bukan akal-akalan dan bukan asal-asalan.

            Tentunya teladan dari al-Imam asy-Syafii di atas sangat bertolak belakang dengan sebagian kalangan yang mengklaim sebagai pengikut beliau. Untuk lebih jelasnya kita katakan:

            Sebagian kaum muslimin ketika dikatakan gurunya, ustadz, syaikhnya, atau kiyainya. Atau pula dikatakan kelompokmu telah salah karena menyelisihi hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan serta merta akan mengatakan ‘Kamu sok pintar’, ‘kamu sok lebih tahu’, ‘kamu hendak merubah-merubah adat’, ‘kamu telah melecehkan dan merendahkan wali fulan’, dan seterusnya dengan tuduhan yang tidak pada tempatnya. Padahal orang yang menyampaikan kritikan benar-benar menyampaikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih, namun karena telah tertutupi oleh sikap taklid dan ta’ashub, susah baginya untuk mendengar gurunya dikritik, atau syaikhnya dikritik, atau kelompoknya dikritik.
            Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik dan hidayahnya kepada kaum muslimin agar menjadikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya standar dalam membenarkan dan menyalahkan, bukan kelompok tertentu atau person tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

             Sehingga dalam mengkritik pendapat lain hendaklah seseorang mempelajari dengan baik hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengenali pula hadits yang shahih dan yang dhaif, dan seterusnya yang telah disampaikan para pakar hadits dalam menentukan hadits sebagai hadits shahih atau hadits dhaif. Juga aturan-aturan dalam memahaminya, seperti kata-kata yang bersifat umum, yang memiliki pembatas (muqayyad), kata yang bersifat umum tapi bermakna khusus, hadits nasikh dan yang mansukh, dan seterusnya yang terdapat dalam ilmu musthalah dan ilmu ushul fiqih, serta cabang ilmu yang lainnya.

            Sebagai gambaran mudahnya al-Imam asy-Syafii menulis kitab ar-Risalah yang terkandung di dalamnya ushul tafsir, musthalah hadits, dan ushul fiqih. Bahkan bahasa yang beliau sampaikan menjadi landasan  dalam menentukan fasih tidaknya suatu kata atau dialek bahasa Arab.

Sumber :
http://fatwasyafii.wordpress.com/2012/05/22/imam-asy-syafii-siap-dikritik-dan-mengkritik-yang-benar/#more-470


    Komentar:

 
Picture
Nasabnya: Beliau adalah Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris yang bersambung nasabnya dengan Hasyim bin Al-Muththolib bin ‘Abdi Manaf Al-Qurosyi Al-Muththolibi.

Kelahiran dan Pertumbuhannya: Beliau lahir di ‘Asqolan pada tahun 150 H, dan tumbuh besar di Makkah. Kemudian tinggal di Mesir, dan meninggal pada hari terakhir bulan Rojab 204 H.

Hapalan Qur’an dan Semangat Beliau dalam menuntut ilmu syar’i:

Al-Muzani berkata: Aku mendengar As-Syafii berkata: “Aku menghapal Al-Qur’an pada umur tujuh tahun, dan aku menghapal Al-Muwaththo (karya Al-Imam Malik) pada umur sepuluh tahun.”
Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Senantiasa semangatku ada dalam dua perkara: memanah dan menuntut ilmu syar’i.”

Seorang imam dalam lughoh (bahasa arab)
Abul Walid Ibnu Abil Jarud berkata: “Dulu dikatakan bahwa Asy-Syafii adalah lughoh itu sendiri yang dijadikan sebagai hujjah.”

Seorang Imam dalam Fiqih
Ahmad bin Ali Al-Jurjani berkata: “Dulu Al-Humaidi jika menyebut Asy-Syafii, dia mengatakan: ‘Telah memberitahukan kepada kami Sayyidnya para ahli fiqih, Al-Imam Asy-Syafii’.”
Yahya bin Said Al-Qoththon berkata: “Tidaklah aku melihat orang yang lebih berakal dan lebih faqih daripada Asy-Syafii.”
Ali bin Al-Madini berkata kepada anaknya: “Jangan engkau meninggalkan satu huruf pun dari ucapan Asy-Syafii untuk ditulis, sesungguhnya dia memiliki ma’rifah (pengetahuan tentang agama).”

Imam dalam Ushul:
Beliaulah yang pertama kali membuat tulisan dalam ushul fiqih sebagai satu ilmu tersendiri.

Pembela hadits:
Harmalah berkata: Aku mendengar Asy-Syafii berkata: “Aku dijuluki di Baghdad sebagai pembela hadits.”

Mujaddid Abad kedua hijriyah
Ahmad bin Hanbal berkata: “Sesungguhnya Allah menakdirkan untuk manusia pada setiap 100 tahun orang yang mengajari mereka sunnah-sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan meniadakan kedustaan atas Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami memperhatikan ternyata pada awal tahun seratus adalah Umar bin Abdul Aziz, dan pada awal tahu dua ratus adalah Asy-Syafii.”

Doa para ulama untuk beliau
Ahmad bin Hanbal berkata: “Tidaklah aku melewati malam selama 30 tahun, melainkan aku berdoa kebaikan kepada Allah untuk Asy-Syafii dan memohonkan ampun untuk beliau.”
Abdurrohman bin Mahdi berkata: “Aku tidak menunaikan satu sholat pun melainkan aku mendoakan kebaikan untuk Asy-Syafii di dalam sholat itu.”
Yahya bin Said Al-Qoththon berkata: “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih berakal dan lebih faqih daripada Asy-Syafii. Dan aku berdoa kebaikan kepada Allah untuk beliau, aku khususkan beliau saja dalam setiap sholat.”

Dan keutamaan Al-Imam Asy-Syafii sangatlah banyak dan terkenal sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar. Dan hal itu telah dikumpulkan oleh Ibnu Abi Hatim, Zakariya As-Saji, Al-Hakim, AL-Baihaqi, Al-Harowi, Ibnu Asakir dan lainnya.

Masa Kecil Imam Syafii

Imam asy-Syafii tumbuh di Gaza dalam keadaan yatim, setelah ayah beliau meninggal di sana. Sehingga beliau hidup dalam keadaan fakir miskin dan yatim, serta jauh dari kerabat. Namun semua ini tidak berpengaruh buruk kepada beliau setelah Allah memberikan taufik kepada kemudahan untuk menempuh metode yang benar.

Setelah ibu beliau membawa beliau ke Mekkah atau daerah dekat Mekkah, beliau mulai menghafal al-Qur’an. Dikatakan bahwa beliau menyelesaikannya pada waktu berumur tujuh tahun.

Beliau mengisahkan dirinya: “Aku dulu hidup yatim dibawah pengasuhan ibuku. Dan ibuku tidak punya harta yang diberikan untuk seorang pengajar. Namun pengajar itu ridha dengan aku menggantikannya jika dia pergi. Setelah aku mengkhatamkan al-Qur’an, aku masuk masjid dan duduk di majlis-majlis ulama sampai aku menghafal satu hadits atau satu masalah. Dan rumah kami berada di Syi’b al-Khaif. Dulu aku mencatat ilmu di tulang, jika sudah banyak aku taruh di satu keranjang besar.” (Tawali at-Ta’sis 54)

Setelah beliau menghafal al-Qur’an di Makkah beliau suka dengan syair dan bahasa arab. Beliau bolak-balik ke suku Hudzail untuk menghafal syair-syair mereka dan bahasa mereka. Yang nampak beliau menghafal syair mereka pada awal usia beliau. Suku Hudzail ini termasuk bangsa arab yang paling fasih.

Kemudian beliau setelah itu mempelajari ilmu fiqih, karena satu sebab. Ada dua versi alasan mulainya Imam asy-Syafii mempelajari ilmu fiqih:

  1. Mush’ab bin Abdillah az-Zubairi mengisahkan seorang sekretaris Bapak Mush’ab bin Abdillah az-Zubairi berkata kepada Imam asy-Syafii: “Orang seperti kamu pergi dengan muruahnya dalam bidang ini. Dimana posisimu dalam masalah fiqih.” Hal itu mendorong Imam asy-Syafii. Sehingga beliau pergi menuju Muslim bin Khalid Az-Zinji Mufti Makkah waktu itu dan belajar kepadanya, kemudian mendatangi Imam Malik di Madinah.” (Manaqib karya Al-Baihaqi 1/97)
  2. Diriwayatkan orang yang mengarahkan beliau untuk mempelajari ilmu fiqih adalah guru beliau Muslim bin Khalid az-Zinji. Imam Baihaqi meriwayatkan Imam asy-Syafii mengisahkan beliau sendiri: “Aku keluar mempelajari ilmu nahwu dan adab. Kemudian aku bertemu dengan Muslim bin Khalid az-Zinji, dia berkata: ‘Wahai anak muda, engkau berasal dari mana?’ Aku menjawab: ‘Dari penduduk Makkah.’ Dia bertanya: ‘Dimana rumahmu di sana?’ Aku menjawab: ‘Di Syi’b al-Khaif.’ Dia bertanya lagi: ‘Dari kabilah apa engkau ini.’ Aku menjawab: ‘Dari keturunan Abdu Manaf.’ Dia berkata: ‘Wah wah, Allah telah memuliakanmu di dunia dan akhirat, tidakah engkau menjadikan pemahamanmu ini untuk ilmu fiqih. Dan itu lebih baik untukmu’.” (Manaqib karya Al-Baihaqi 1/97)
Sebab manapun yang menjadikan beliau seperti itu, maka ini menunjukkan bahwa Imam asy-Syafii rahimahullah setelah menghafal al-Qur’an melakukan perjalanan ke suku Hudzail di pinggiran Makkah kemudian setelah menghafal syair-syair mereka dan bahasa mereka, himmah beliau berubah kepada ilmu fiqih. Beliau berguru kepada Mufti Makkah Muslim bin Khalid az-Zinji. Setelah mapan beliau mengadakan perjalanannya yang pertama ke Madinah.

Beliau tekun dalam menuntut ilmu dan menghafal al-Qur’an pada umur tujuh tahun, dan menghafal kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik pada umur sepuluh tahun. Beliau mulai berfatwa pada umur lima belas tahun –ada yang berkata: delapan belas tahun- dengan ijin dari guru beliau Muslim bin Khalid az-Zinji. Beliau perhatian dengan syair dan bahasa. Beliau menghafal syair al-Hudzaliyyin dan tinggal di antara mereka sekitar sepuluh tahun, dikatakan: dua puluh tahun. Beliau mempelajari bahasa arab dan kefasihan dari mereka. Beliau mendengar banyak hadits dari sekumpulan guru dan para imama. Beliau membacakan al-Muwatha kepada Imam Malik dari hafalannya, sehingga Imam Malik pun kagum atas bacaan dan himmahnya. Kemudian Imam asy-Syafii mengambil ilmu dari ulama hijaz setelah beliau mengambil ilmu dari Muslim bin Khalid az-Zinji. Beliau meriwayatkan dari banyak guru. Beliau mempelajari al-Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin dari Syibl  dari Ibnu Katsir dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas dari Ubai bin Ka’b dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (al-Bidayah wa an-Nihayah 1/263).

(Sumber: Tahdzib Ath-Tahdzib (3/496-500) dengan perubahan susunan)